FKI Gelar Kajian Tentang Fatwa Haram Rokok dan Dampaknya


Muhammadiyah kembali menjadi berita setelah melansir fatwa haram rokok. Penggodokan fatwa itu bermula dari ide menyelenggarakan Muktamar Muhammadiyah yang bertepatan dengan seabad Muhammadiyah pada Juli 2010, bebas dari asap rokok. Pro dan kontra atas keputusan tersebut terus bermunculan mengingat beberapa tahun yang lalu Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tarjih mengeluarkan fatwa mubah rokok. Mereka yang peduli terhadap kesehatan umumnya mendukung keputusan ini. Akan tetapi di sisi yang lain ada kelompok yang menolak munculnya fatwa tersebut. Mereka umumnya adalah pengusaha rokok, konsumen, dan kalangan yang melihat tingginya nilai keuntungan dari hasil penjualan rokok. Lalu bagaimana Muhammadiyah (dalam hal ini Majelis Tarjih dan Tajdid) mempersiapkan sosialisasi dan menindak lanjuti fatwa tersebut?
Sebagai salah satu organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah yang mempunyai trilogi keislaman, kemasyarakatan, dan kemahasiswaan, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Saintek UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan kajian untuk membahas permasalahan tersebut. Acara yang di-handle oleh Forum Kajian Islam (FKI) IMM Saintek ini mengangkat tema “ dampak Sosial Fatwa Haram Rokok dan Solusinya” dengan pembicara Ustadz Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A. yang juga ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Kajian bertempat di Masjid Safinatunnajah SD Muhammadiyah Sapen Yogyakarta pada tanggal 26 Maret 2010 dan berlangsung dari pukul 20.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB.
Fatwa haram rokok dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam surat No. 6/SM/MTT/III/2010 tentang hukum merokok. Dalam pemaparannya, ustadz yang juga guru besar Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga ini menjelaskan bahwa disamping mempertimbangkan dalil-dalil syar’i yang melarang perbuatan membahayakan diri sendiri, terdapat banyak data dan fakta yang menunjukkan bahwa efek merokok berbahaya bagi kesehatan. Selain itu, pertimbangan secara ekonomis pun menunjukkan bahwa keuntungan hasil penjualan rokok hanya dinikmati oleh pemilik pabrik saja.
Rokok ditengarai sebagai produk berbahaya dan adiktif serta mengandung 4000 zat kimia, di mana 69 di antaranya adalah karsinogenik (pencetus kanker). Beberapa zat berbahaya di dalam rokok tersebut di antaranya tar, sianida, arsen, formalin, karbonmonoksida, dan nitrosamin. Kalangan medis dan para akademisi telah menyepakati bahwa konsumsi tembakau adalah salah satu penyebab kematian yang harus segera ditanggulangi. Direktur Jendral WHO, Dr. Margaret Chan, melaporkan bahwa epidemi tembakau telah membunuh 5,4 juta orang pertahun lantaran kanker paru dan penyakit jantung serta lain-lain penyakit yang diakibatkan oleh merokok. Itu berarti bahwa satu kematian di dunia akibat rokok untuk setiap 5,8 detik.
Kematian balita di lingkungan orang tua merokok lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua tidak merokok baik di perkotaan maupun di pedesaan. Kematian balita dengan ayah perokok di perkotaan mencapai 8,1 % dan di pedesaan mencapai 10,9 %. Sementara kematian balita dengan ayah tidak merokok di perkotaan 6,6 % dan di pedesaan 7,6 %. Resiko kematian populasi balita dari keluarga perokok berkisar antara 14 % di perkotaan dan 24 % di pedesaan. Dengan kata lain, 1 dari 5 kematian balita terkait dengan perilaku merokok orang tua. Dari angka kematian balita 162 ribu per tahun (Unicef 2006), maka 32.400 kematian dikontribusi oleh perilaku merokok orang tua.
Ditemukan suatu fakta bahwa keluarga termiskin justru mempunyai prevalensi merokok lebih tinggi daripada kelompok pendapatan terkaya. Angka-angka SUSENAS 2006 mencatat bahwa pengeluaran keluarga termiskin untuk membeli rokok mencapai 11,9 %, sementara keluarga terkaya pengeluaran rokoknya hanya 6,8 %. Pengeluaran keluarga termiskin untuk rokok sebesar 11,9 % itu menempati urutan kedua setelah pengeluaran untuk beras. Fakta ini memperlihatkan bahwa rokok pada keluarga miskin perokok menggeser kebutuhan makanan bergizi esensial bagi pertumbuhan balita. Ini artinya balita harus memikul risiko kurang gizi demi menyisihkan biaya untuk pembelian rokok yang beracun dan penyebab banyak penyakit mematikan itu. Ini jelas bertentangan dengan perlindungan keluarga dan perlindungan akal (kecerdasan) dalam maqa’id asy-syari’ah yang menghendaki pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pengembangan kecerdasan melalui makanan bergizi.
Ketika ditanya mengenai langkah kongkret Muhammadiyah dalam mengimplementasikan fatwa ini, Ustadz Syamsul Anwar menjawab bahwa beberapa Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) menjalin kerjasama dengan pemerintah untuk melakukan alih kelola lahan tembakau menjadi tanaman lain yang dinilai lebih bermanfaat dan produktif. Diantaranya Universitas Muhammadiyah Magelang (UMM) yang bekerja sama untuk pemerintah untuk melakukan alih kelola lahan di daerah Magelang. Selain itu, seluruh amal usaha Muhammadiyah (AUM) seperti sekolah, masjid, dan rumah sakit juga telah diinstruksikan untuk menjadikan kawasannya bebas rokok. Di akhir kajian, ustadz mengatakan bahwa penerapan fatwa tersebut memerlukan waktu yang lama. “ Kita tidak bisa merubah kebiasaan merokok dalam waktu sekejap,” ujarnya. Tentu saja perlu adanya upaya bersama dari semua pihak agar konsumsi tembakau (rokok) dapat ditekan karena mudharatnya begitu besar. (im)