Kontroversi Penetapan Awal Waktu Subuh *)

Oleh : Fardian Imam M

Shalat adalah salah satu bentuk ibadah bagi kaum muslimin yang disebutkan sebagai tiang agama.. Dalam fikih tentang shalat, dikenal adanya syarat wajib, syarat sah, rukun, sunat, dan hal-hal yang membatalkan shalat. Syarat wajib shalat adalah syarat yang mewajibkan seseorang untuk shalat. Sedangkan syarat sah shalat adalah syarat yang harus dipenuhi supaya shalatnya diterima. Adapun rukun shalat adalah unsur-unsur yang harus ada dalam shalat dan sunat shalat adalah hal-hal yang utama untuk dilaksanakan dalam shalat. Dalam makalah ini akan dibahas salah satu syarat sahnya shalat, yaitu sudah masuk pada waktunya. Lebih khusus lagi pembahasan seputar kontroversi penetapan waktu shalat subuh.
Para ulama fiqh telah memberikan batasan-batasan waktu untuk melaksanakan shalat yang berbeda antara yang satu dengan yang lain berdasarkan dalil-dalil dalam al-Quran maupun Hadis.
Allah SWT berfirman :

فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنََّ الصََّلاةَ كََانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisa’ : 103)
Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash r.a., bahwasanya Rasulullah Saw pernah bersabda : “Waktu zuhur adalah apabila matahari telah condong sedikit ke barat hingga bayangan seseorang menyamai panjang orangnya, selama Ashar belum tiba, waktu Ashar adalah selama matahari belum menguning, waktu maghrib adalah selama mega merah belum menghilang, waktu Isya adalah hingga separoh malam yang tengah, dan waku Subuh adalah sejak terbit fajar selama matahri belum terbit. Apabila matahari telah terbit, maka janganlah kamu lakukan salat, karena matahari itu muncul diantara dua tanduk setan”. (HR Muslim)
Dalil di atas adalah dasar dari penetapan waktu shalat wajib lima waktu. Selain hadis di atas masih banyak lagi dalil yang dapat dijadikan dasar penentuan waktu shalat, baik shalat sunat maupun shalat wajib.

A. Penetapan awal waktu Shalat Subuh
Khusus mengenai shalat Subuh, telah kita ketahui bahwa waktu dilaksanakannya shalat Subuh adalah sejak terbit fajar hingga matahari terbit. Selain menjadi tanda waktu shalat Subuh, terbitnya fajar juga menjadi waktu diharamkannya makan dan minum bagi yang hendak berpuasa. Di sinilah kita perlu mengetahui apa itu fajar, kapan terjadinya, bagaimana tanda-tandanya, dan dimana bisa dilihat.

1. Fajar dalam perspektif Syar’i
Definisi fajar yang menjadi landasan syar’i untuk pelaksanaan puasa dan shalat bisa dilihat dalam Al-Quran dan Sunnah.
Allah SWT berfirman :

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“… dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS Al-Baqarah : 187)
Ayat di atas memberikan batasan mengenai awal waktu puasa. Batasan ini sekaligus digunakan untuk melaksanakan shalat Subuh. Kalimat ‘benang putih dari benang hitam’ adalah penggambaran dari garis putih yang tampak di atas cahaya kemerah-merahan. Cahaya ini berasal dari sinar matahari yang mengenai atmosfer bumi. Sedangkan yang dimaksud benang hitam adalah ufuk.
Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
Makan dan minumlah kalian hingga tampak membentang cahaya merah bagi kalian.”
Setelah dijelaskan mengenai fenomena fajar yang berupa ‘benang putih’ atau ada yang menerjemahkan cahaya putih, ternyata ada dua tanda alam yang mempunyai ciri-ciri cahaya putih seperti yang disebutkan oleh hadis tadi.
  1. Tanda yang pertama adalah cahaya putih yang muncul secara vertikal (dari bawah ke atas atau timur ke barat). Cahaya ini tidak muncul secara merata di ufuk timur, artinya tidak ada sisi ufuk yang gelap dan ada yang terkena cahaya. Setelah itu, alam kembali menjadi gelap karena fajar telah menghilang. Fenomena ini dikenal dengan fajar kadzib.
  2. Sedangkan tanda yang kedua adalah cahaya putih terbit di ufuk timur tampak merata dari utara ke selatan atau horizontal. Bedanya dengan fajar yang pertama (kadzib), fajar yang kedua ini diikuti dengan cahaya yang semakin terang hingga menjelang siang. Fajar yang kedua dikenal dengan fajar shadiq. Menurut Ibn Jarir Ath-Thabari, sifat sinar Subuh yang terang itu menyebar dan meluas di langit, sinarnya (terangnya) dan cahayanya memenuhi dunia hingga memperlihatkan jalan-jalan menjadi jelas.
Fajar yang pertama (kadzib) tidak berkaitan dengan hukum syariat apapun, tidak menjadi awal menahan makan dan minum ketika puasa dan tidak pula menjadi awal masuknya waktu Subuh. Sebaliknya, fajar shadiq mempunyai kaitan erat dengan penentuan awal masuknya waktu subuh dan menahan makan minum bagi yang berpuasa. Rasulullah berpesan supaya umat Islam tidak tertipu oleh cahaya putih yang muncul sebelum fajar. Beliau bersabda : “ Janganlah adzan bilal menipu kalian dari sahur kalian,tidak juga putihnya ufuk yang vertikal seperti ini, hingga menjadi horizontal (menyebar) seperti ini.” (HR Muslim). Hadis ini berkaitan dengan adzan pada masa Rasulullah yang dikumandangkan dua kali, yaitu sebelum fajar terbit dan saat fajar terbit (waktu Subuh). Kaum muslimin disunnahkan mengakhirkan sahur hingga adzan yang kedua karena adzan kedua adalah adzan Subuh saat fajar horizontal (shadiq) terbit.


2. Fajar dalam tinjauan Astronomi
Beberapa jam sebelum matahari terbit, di ufuk timur tampak cahaya kuning kemerah-merahan yang menjadi waktu berakhirnya gelap malam menuju siang yang terang benderang. Cahaya tersebut merupakan pembiasan cahaya matahari oleh partikel-partikel yang ada di angkasa. Semakin dekat posisi matahari terhadap ufuk, semakin terang pula cahaya tersebut. Dalam astronomi, cahaya tersebut dikenal dengan istilah “Cahaya Fajar” atau “twilight”
a. Civil Twilight
Kondisi ini terjadi saat posisi matahari berada antara 0˚ sampai -6˚ di bawah ufuk. Dalam keadaan ini, benda-benda di lapangan terbuka sudah tampak batas-batas bentuknya. Sedangkan bintang yang bisa dilihat hanyalah sebagian bintang terang saja.
b. Nautical Twilight
Kondisi ini terjadi saat posisi matahari berada antara -6˚ sampai -12˚ di bawah ufuk. Dalam keadaan ini, benda-benda di lapangan terbuka masih samar batas-batas bentuknya. Sedangkan bintang yang bisa dilihat adalah semua bintang terang.
c. Astronomical Twilight
Kondisi ini terjadi saat posisi matahari berada antara -12˚ sampai -18˚ di bawah ufuk. Dalam keadaan ini, benda-benda di lapangan terbuka belum tampak batas-batas bentuknya. Semua bintang baik yang terang maupun yang samar masih tampak

3. Penetapan Waktu subuh secara Astronomis
Jadwal shalat yang beredar saat ini sebagian besar dihitung dengan menggunakan acuan posisi matahari terhadap permukaan bumi. Dalam penetapan standar derajat posisi matahari pun terdapat perbedaan antara sistem penanggalan yang satu dengan yang lainnya. Beberapa sistem penanggalan yang beredar adalah sebagai berikut :

B. Kontroversi penetapan fajar
Perbedaan penetapan awal waktu subuh di atas membuat beberapa pakar dan ahli falak mengadakan penelitian mengenai hal tersebut. Salah satunya adalah Nabil Yusuf Husain, seorang ahli falak Mesir. Dalam penelitiannya, ia menetapkan bahwa fajar shadiq baru akan tampak pada posisi -14,5˚. Di Indonesia sendiri, masalah ini baru mencuat setelah majalah Qiblati mengangkat masalah tersebut berdasarkan pengamatan langsung di sejumlah tempat. Setelah disampaikan kepada publik, muncullah dukungan atas hasil pengamatan tersebut. Dukungan tersebut berupa keikutsertaan beberapa organisasi dan tokoh dalam pengamatan langsung dan penyampaian pendapatnya mengenai kemungkinan adanya koreksi. Beberapa diantaranya adalah Rukyatul Hilal Indonesia (RHI), Prof. Dr. Susiknan Azhari (Wakil Majelis Tarjih PP Muhammadiyah), AR Sugeng Riyadi (Pakar Fisika), dan Ir. Sofyan Said, M.Sc (ICMI). Penolakan atas temuan ini justru disampaikan oleh beberapa tokoh dari BHR Depag RI, badan yang selama ini berwenang membuat Jadwal Shalat Sepanjang Masa (JSSM).
Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal kita mempunyai banyak pakar yang terbiasa menghitung awal bulan Ramadhan dan Syawal dengan menggunakan alat-alat canggih. Hal ini ternyata berawal dari hasil penelitian (1908-1909) dua insinyur Inggris, Mr. Lehman dan Mr. Melthe yang menetapkan waktu shalat di Mesir. Dua pakar yang beragama Nasrani ini menetapkan posisi matahari -19˚ untuk awal waktu shalat subuh. Hasil penelitian ini kemudian dipakai begitu saja oleh ahli hisab generasi berikutnya dengan penyesuaian seperlunya. Penelitian ulang mengenai permasalahan ini pun sangat minim.
Salah satu temuan yang unik adalah perbedaan sikap antara pakar fisika/astronomi dengan ahli agama atau ulama. Kelompok pertama (pakar sains) cenderung pada koreksi karena data hasil pengamatan empiris tidak sesuai dengan perhitungan astronomis. Sedangkan kelompok kedua adalah tokoh agama yang cenderung mempertahankan pendapatnya dengan dalih hasil ijtihad yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Mana yang benar? Tentu saja dalam urusan ibadah kita harus tetap menggunakan pedoman al-Quran dan as-Sunnah. Dalam hal pendapat orang/tokoh, masing-masing punya keterbatasan sehingga semuanya harus saling berdiskusi dengan segala kerendahan hati, sehingga umat Islam yang jumlahnya jutaan ini tidak bingung.


*) Disampaikan dalam diskusi perdana FKI IMM Saintek UIN Sunan Kalijaga, 4 Januari 2010