logo IMM Saintek UIN-suka Jogja


logo IMM komisariat Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Politisasi Sains, Problematika di Era Modern


Politisasi Sains, Problematika di Era Modern[1]
Oleh: Fardian Imam Muttaqin[2]



K
ata ‘ilmu pengetahuan’ atau ‘sains’ dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan kata science dalam bahasa Inggris. Sedangkan yang dimaksud science -tanpa penjelasan lebih lanjut- adalah natural science atau ‘ilmu-ilmu kealaman’. Natural sciences atau merupakan ilmu-ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena alam semesta dengan segala isinya[3]. Dalam perkembangannya, natural sciences (selanjutnya disebut science) yang terdiri dari basic sciences (ilmu-ilmu dasar) seperti biologi, kimia, fisika, dan astronomi beserta cabang-cabangnya juga mengalami derivasi berupa applied sciences atau ‘ilmu-ilmu terapan’ seperti farmasi, kedokteran, pertanian, dan lain-lain. Istilah science (sains) yang digunakan dalam pembahasan ini memiliki makna natural sciences beserta dengan cabang dan derivasi (turunan)nya. Sedangkan kata ‘politisasi’ memiliki arti ‘hal membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dsb) bersifat politis (bersifat politik)’. Kata politik sendiri mepunyai arti ‘segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan suatu negara atau thd negara lain’[4]. Dengan mengacu pada definisi kedua kata di atas, istilah ‘politisasi sains’ bisa kita maknai sebagai tindakan pemerintah memanfaatkan sains dalam kebijakan-kebijakan politiknya. Bisa juga kita maknai sebagai tindakan individu atau kelompok menjadikan sains sebagai alat politisnya.
Dalam sejarah peradaban manusia, sains dan teknologi menjadi ukuran kemajuan suatu negara. Negara yang kuat adalah negara yang menguasai sains dan teknologi de-ngan baik. Kita tentu ingat sejarah Daulah Umayyah yang bisa memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke daerah Siprus karena teknologi kapal lautnya. Begitu juga dengan daulah Abbasiyah yang mampu menjadi ‘kiblat’ pengetahuan saat itu karena tradisi intelektual yang dibangun pada masa itu membuat sains berkembang pesat di negeri tersebut. Imperialisme kuno pun dimulai dari penjelajahan bangsa Eropa yang telah mampu me-ngembangkan sains, terutama ilmu navigasi.
Pada masa modern seperti sekarang ini, kita banyak melihat temuan-temuan baru di bidang sains dan teknologi, baik yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, swasta, maupun individu. Karya-karya ilmiah para ilmuwan dari berbagai negara baik dalam ilmu murni maupun terapan bisa dengan mudah kita ketahui melalui media massa. Manusia dimanjakan dengan teknologi-teknologi mutakhir yang memudahkan mereka untuk bekerja, berkomunikasi, maupun melakukan aktivitas lainnya. Peradaban manusia mengalami perubahan karena sains dan teknologi yang semakin pesat.
Dalam skala kecil, individu memanfaatkan perkembangan (produk) sains dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam skala lebih besar suatu komunitas juga memanfaatkannya untuk kepentingan mereka. Nah, dalam skala nasional, negara pun pasti memanfaatkannya untuk mendukung kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Hal ini merupakan sunnatullah karena ketika hendak menurunkan Nabi Adam ‘alaihis-salam dan Siti Hawa radhiyallahu ‘anha ke bumi, Allah berfirman :
وَلَكُمْ فِي الأرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ
Artinya : “...Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan”. (QS Al-A’raaf: 24)
Tentu saja tidak salah apabila sains terus dikembangkan untuk mempermudah pekerjaan manusia, namun masalah akan muncul tatkala sains dikembangkan dengan cara dan tujuan yang tidak benar. Beberapa contoh berikut ini menunjukkan bahwa perkembangan sains ‘ditunggangi’ atau diselewengkan untuk kepentingan-kepentingan politis tertentu yang akhirnya justru menyebabkan jatuhnya korban.
1.    Kasus NAMRU 2
NAMRU 2 (Naval Medical Research Unit), sebuah laboratorium milik angkatan laut Amerika yang sudah berumur 39 tahun [1970-2009(dihentikan)] meneliti berbagai macam wabah yang ada di negeri ini. Dulu, awalnya memang Indonesia yang meminta mereka datang untuk meneliti wabah sampar di Jawa Te-ngah, kemudian wabah malaria di Papua dan  macam-macam wabah penyakit lainnya. Sampai akhirnya mereka mengikatnya dalam sebuah MOU (Memorandum of Understanding). Tapi entah kenapa, setelah perjanjian kotrak habis masih saja beroperasi, ntah kenapa seperti tidak ada yang mengontrol. Lama kelamaan, disinyalir bahwa Namru kepanjangan tangan dari Intelejen AS. Akhirnya Namru diduga mengumpulkan berbagai jenis sample virus yang pernah ada di Indonesia  untuk kepentingan senjata biologi. Hal ini terlihat ketika Namru meminta kepada seluruh Rumah Sakit  untuk mengirimkan sample virus flu burung ketika  izin beroperasi telah habis (tahun 2000).
2.    Pengembangan bahan kimia untuk pembuatan senjata.
Berkembangnya ilmu kimia mestinya bisa diterapkan untuk kemaslahatan hidup manusia, namun dalam skala nasional bahan-bahan kimia justru dikembangkan sebagai senjata yang sangat membahayakan.
Adanya penggunaan dan ancaman senjata kimia digambarkan ada lima kemungkinan yaitu Military use, Threat of use, Acti-vities prohibited by Chemical Weapons Convention (CWC), Terrorist attact, Accidental release of Chemical Weapons Agent (CWA).
3.    Pembunuhan David Hartanto
Masih ingat dengan kasus David Hartanto? Mahasiswa teknik elektro Nanyang Technology University (NTU) asal Indonesia yang dinyatakan bunuh diri oleh pihak Singapura. Sementara banyak yang menyangkal itu semua rekayasa demi sebuah kepentingan semata, lantaran sang mahasiswa punya project akhir yang belum pernah ditemukan. Sebuah alat  visual tiga dimensi yang bisa tayang ke udara khusus untuk teknologi intelijen.
Contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari bentuk politisasi sains yang dilakukan oleh negara (dan juga kelompok). Sains dikembangkan bukan lagi dalam rangka pe-ngembangan keilmuan namun dikembangkan di bawah intervensi pemerintah atau pihak-pihak tertentu. Fenomena ini pun membuat saintis berada dalam posisi yang dilematis, di satu sisi mereka ingin mengembangkan ilmu yang mereka miliki namun di sisi lain mereka menghadapi situasi politis yang mengintervensi independensi sebagai seorang ilmuwan.



[1] Disampaikan dalam diskusi rutin FSS IMM Komisariat Saintek UIN Suka pada Jumat, 4 Maret 2011
[2] Mantan Ketum PK IMM Saintek 2009-2010 
[3] Umar A. Janie, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Perspektif Pemikiran Islam dalam buku Menyatukan kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum. (Yogyakarta, Suka Press, 2004) hlm. 121
[4] Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008